Saturday 13 April 2013

Siapkah Indonesia untuk MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)

MAE (masyarakat Ekonomi ASEAN) atau AEC (ASEAN Economic Community) atau mungkin lebih mudahnya ialah perdagangan bebas antar ASEAN (bisa di bilang nantinya jadi kaya EURO) akan segera menghampiri kita pada tahun 2015.

apakah Indonesia siap?? Apalagi dengan maraknya demo buruh.. yang ada investor bakalan kabur..

ini ada 7 alasan kenapa kita harus khawatir


Pertama, potensi AEC dan daya saing Indonesia. Dalam ACFTA, Indonesia merasakan manfaat dengan terbukanya potensi akses pasar ke China yang memiliki 1,4 miliar orang, lebih besar dari populasi seluruh negara Eropa. 

"Sementara dalam AEC, Indonesia berpotensi menjadi pasar besar bagi negara ASEAN lainnya. AEC bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal, di mana Indonesia merupakan pasar terbesar dengan populasi penduduk mencapai 40% dari populasi ASEAN lainnya" jelas Franky

Ia menuturkan neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya mayoritas deficit. Perdagangan Indonesia dengan Brunei Darussalam deficit sebesar US$ 281, 7 juta, Indonesia dengan Malaysia deficit US$ 511,3 juta, Indonesia dengan Singapura deficit US$ 707,9 juta, Indonesia dengan Thailand deficit US$ 721,4 juta, serta Indonesia dengan Vietnam deficit sebesar US$ 157, 5 juta.

Neraca perdagangan Indonesia hanya positif dengan empat (4) negara lainnya, masing-masing: dengan Kamboja surplus sebesar US$ 233,9 juta, Indonesia dengan Laos surplus US$ 17,9 juta, dengan Myanmar surplus sebesar US$ 238,6 juta serta dengan Filipina surplus US$ 2448,55 juta.

Menurutnya daya saing Indonesia juga berada dalam posisi bawah di antara negara ASEAN lainnya. Daya saing Indonesia, menurut Indeks Daya Saing Global 2010 berada pada urutan 75. Posisi ini di bawah Singapura yang menduduki posisi ke-2, Malaysia pada posisi 29, Filipina pada posisi 44 dan Vietnam pada posisi 53. Daya saing Indonesia hanya di atas Laos yang berada pada posisi 129 dan Myanmar pada posisi 133.

Frany mencatat biaya logistik di Indonesia mencapai porsi 16% dari seluruh biaya produksi dari angka normal sebesar 8-9%. Daya saing logistic Indonesia juga termasuk rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Indonesia hanya menduduki posisi 46 secara global, di bawah Singapura pada posisi 2, Malaysia peringkat 21, Brunei Darusalam peringkat 28 dan Thailand pada peringkat 38.

Kedua, tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, di mana energi pemerintah seluruhnya terfokus kepada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya dimajukan pada tahun 2013 untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2014, serta pemilihan legislative (pileg) dan pemilihan Presiden (pilpres) pada tahun 2014. 

Dengan fokus pada persoalan-persoalan politik, saya yakin pemerintah tidak akan terfokus untuk menguatkan daya saing industri nasional menghadapi implementasi AEC 2015. Meski pun secara matematis masih ada waktu 2 tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri, jika pemerintah terfokus kepada persoalan politik, waktu tersebut juga tidak akan termanfaatkan.

Ketiga, pemerintah sampai sekarang belum terlihat serius mempersiapkan daya saing industri nasional menghadapi AEC. Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki kebijakan untuk menghadapo AEC, yaitu: Inpres No 5 Tahun 2008, Inpres No 11 Tahun 2011, dan Rancangan Inpres 2012 tentang peningkatan daya saing nasional menghadapi AEC. Tapi, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum terlihat, sehingga tidak heran seorang Menteri Perindustrian menyatakan kegugupannya di media.

Menurutnya kebijakan pemerintah yang ada sekarang justru menurunkan daya saing industri nasional. Pemerintah seperti menjadikan industri tekstil sebagai sapi perah dengan pengenaan biaya bisnis yang cukup tinggi terutama untuk komponen kenaikan tarif dasar listrik, pajak sesuai otonomi daerah dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). 

Contoh industri tekstil juga menghadapi persoalan perizinan yang cukup menyulitkan. Terdapat 172 surat yang selalu harus diregistrasi oleh kalangan pengusaha dan rata-rata berujung pengenaan pungutan bagi pengusaha. 

Misalnya izin usaha yang pada awalnya berlaku untuk seumur hidup, sekarang harus diperbarui setiap 2 tahun. Demikian juga izin gangguan (Izin HO) yang harus diperbarui setiap 5 tahun. Persoalan tersebut memperparah daya saing industry nasional yang sudah menghadapi kendala infrastruktur minim serta persoalan kebijakan energy yang tidak berpihak kepada ketersediaan pasokan untuk industry nasional.

Keempat, kalangan industry nasional belum menyadari (aware) terhadap kondisi mengkhawatirkan menjelang pelaksanaan AEC. Belum ada dialog antara pemerintah dan dunia industry mendiskusikan implementasi peningkatan daya saing menghadapi ancaman yang dapat muncul dari implementasi AEC.

Kelima, produktivitas pekerja Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, menggunakan ukuran perbandingan dengan jam kerja pekerja di Amerika Serikat.

Ia menjelaskan produktivitas pekerja Indonesia dibandingkan dengan produktivitas pekerja Amerika Serikat hanya mencapai 36 %. Artinya, jam kerja yang dihabiskan pekerja Indonesia hanya 36% di atas pekerja Amerika. Sementara pekerja Kamboja mencapai 46%, Malaysia mencapai 43%, Thailand 37% dan Singapura 36%. Pekerja Indonesia hanya lebih produktif dibandingkan Filipian 30% dan Vietnam 13%.

Keenam, negara ASEAN lainnya cukup agresif mengantisipasi serta mempersiapkan diri menghadapi AEC. Strategi mereka adalah menjadikan Indonesia sebagai pasar besar bagi produknya. Beberapa perusahaan Thailand sudah melirik untuk berekspansi ke Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan ritel Central yang akan berinvestasi sebesar US$ 19 juta. 

Malaysia dan Singapura juga sudah bekerjasama mengelola kawasan Industri di Johor guna menjaring pengusaha untuk berinvestasi dengan pasar ASEAN. Indonesia oleh kedua negara tersebut akan diposisikan sebagai pasar besar. 

Kecenderungan ekspansi juga dimiliki oleh negara ddi luar ASEAN. Seribu (1000) UKM Jepang sudah berencana merelokasi pabriknya ke Indonesia sehingga menjadi ancaman bagi UKM di Indonesia. Perusahaan China juga memiliki kecenderungan tinggi untuk berekspnasi, di mana investasi China ke luar negeri pada tahun 2012 mencapai US$ 74,7 miliar.

Ketujuh, terkait potensi investasi Kementrian Perindustrian sudah membaca investor tidak terlalu berminat menanamkan modalnya ke Indonesia karena persoalan daya saing investasi Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya. 

Meski tercatat beberapa potensi investasi masuk, seperti 1000 UKM (usaha kecil menengah) Jepang, tapi potensi investasi yang akan masuk ke negara ASEAN lainnya jauh lebih besar, mengingat beberapa factor daya saing, seperti produktivitas pekerja Indonesia yang masih di bawah Kamboja, Malaysia, Thailand dan Singapura. Selain tentunya persoalan infrastruktur, ketersediaan pasokan energy, serta jaminan hukum dan keamanan..

Indikator Daya Saing Usaha di Indonesia menurut World Bank Group tahun 2011, juga tidak terlalu menggembirakan, dengan perincian sebagai berikut:

pada aspek memulai bisnis daya saing Indonesia berada di peringkat 155 dari 183 negara.
pada aspek ijin konstruksi berada di posisi 71 dari 183 negara,
pasokan listrik (ketersediaan energy) pada peringkat 161 dari 183 negara,
aspek perlindungan investasi posisi 46 dari 183 negara, serta
aspek kemudahan berbisnis pada peringkat 129 dari 183 negara.


"Pemerintah perlu segera mengajak kalangan industri untuk mendiskusikan langkah strategis yang harus diambil guna mendorong daya saing industri nasional agar tidak terlibas oleh masuknya industri negara lain sehingga Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk mereka"

0 comments:

Post a Comment