Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
membuat peraturan pelaksanaan mengenai beberapa ketentuan dalam UU Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Latar belakang diundangkannya Undang-undang
No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut
diundangkan muncul iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik
itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat
lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama
yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia
menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak
efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk
membantu mengangkat perekonomian Indonesia.
UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah
Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai
rupiah dan membangkrutkan negara serta hampir semua pelaku ekonomi.
Undang-undang ini juga merupakan salah satu bentuk reformasi ekonomi yang
disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu Indonesia
keluar dari krisis ekonomi. Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5
Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi
Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU
No. 5/1995).
Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah
merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam undang-undang
antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara maju, antara
lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang
undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan
apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta perkecualian atas
monopoli yang dilakukan negara.
Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan
keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan
perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan terlarang oleh
UU No. 5/1999 serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka. Perjanjian yang
dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian
wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan
perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah:
monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.
Pada 5 Maret 2009 yang lalu UU No. 5/1999
genap berusia sepuluh tahun, waktu yang cukup panjang dan relevan untuk
melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut.
Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Sepuluh tahun penerapan UU Antimonopoli perlu
dilakukan suatu refleksi, apa dampaknya bagi dunia usaha, bagi konsumen dan
pemerintah. Selama sepuluh tahun berlakunya UU Antimonopoli, sejak tahun 2000
sampai sekarang menurut Zubaedah, Kasubdit Advokasi KPPU, KPPU telah menerima
963 laporan pelanggaran tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat. Setelah laporan itu diklarifikasi, yang ditindaklanjuti berjumlah 179.
Dari jumlah tersebut sebanyak 121 diputuskan, 43 statusnya penetapan, sedangkan
15 lainnya sedang ditangani.
Dampak
UU Antimonopoli bagi Pelaku Usaha
Dampak
UU Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku usaha
tidak boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan usaha
merugikan pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang kedua
pelaku usaha harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya supaya tetap
dapat eksis di pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas, harga maupun
pelayanannya. Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa yang dilakukan
oleh kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha akan melakukan
perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk menghasilkan kualitas
yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan pelayanan yang terbaik
untuk menarik hati konsumen.
Apakah
ini sudah dijalankan oleh pelaku usaha di Indonesia? Sejak diberlakukannya UU
Antimonopoli sepuluh tahun yang lalu, pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan
rambu-rambu yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli.
Paling
tidak mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan kepada pelaku
usaha untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut. Misalnya, adanya
larangan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha (Pasal 17), dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75%
untuk dua atau tiga pelaku usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b). Namun, batasan ini
tidak berlaku mutlak. Artinya
tidak setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang,
melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan
pangsa pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak
sehat. Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang
bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan
tersebut.
Dengan
demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU Antimonopoli
mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas kemampuannya
sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat.
Sumber : KLIK
0 comments:
Post a Comment